Kata-Kata Bijak

Kita tidak tahu apakah Allah akan memberi rezeki yang banyak atau sedikit kepada kita

Kita juga tidak tahu kapan kita akan sukses

Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah berusaha untuk mendapatkannya

Tampilkan postingan dengan label Dunia Kerja/Karir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dunia Kerja/Karir. Tampilkan semua postingan

Jumat, 18 Juli 2008

Selamat Pagi, Anda Kena PHK!

Artikel yang menarik, sayang kalau nggak disimpan

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Seorang Chief Executive Officer sebuah perusahaan ternama dunia hari itu
datang kekantornya yang megah tepat jam 7 pagi. Sang pemilik perusahaan
memasuki ruang kerjanya tak lama kemudian. Setelah berbasa-basi sedikit,
beliau berujar;"My friend," katanya. "Aku bangga dengan hasil kerjamu selama
ini," lanjutnya. Sang CEO tentu saja bahagia mendengar pujian bossnya itu.
"Namun," lanjut si boss. Kali ini, hati CEO itu mulai dihinggapi tanda tanya
besar. "Para stakeholders kita menginginkan untuk menggantikanmu dengan
seseorang yang lebih baik....." Saat itu juga, pagi yang cerah seakan-akan
berubah menjadi gelap gulita sambil sesekali dikilati cahaya dari bunyi
petir dan gelegar halilintar yang membuat jiwa bergetar. Sang CEO hanya bisa
terpana. Seolah tidak percaya pada apa yang baru saja didengarnya.
Seandainya, berita itu tidak ditujukan kepada CEO yang sedang kita bicarakan
itu. Melainkan kepada anda. What are you going to do?

Boleh jadi anda mengira bahwa percakapan diatas itu sekedar rekaan belaka.
Tapi, jika anda mengikuti perkembangan dunia bisnis internasional
akhir-akhir ini; anda akan menemukan bahwa pembicaraan semacam itu
sungguh-sungguh terjadi didunia nyata. 'Korbannya'? Banyak. Mulai dari orang
nomor satu di bank terkemuka. Pemimpin perusahaan farmasi tercanggih. Hingga
raksasa minuman berbahan dasar kopi yang aroma ketenarannya sampai kesini.
Bahasa politik boleh mengatakannya dengan halus, semisal; pensiun dini atau
golden shake hand. Tetapi, dalam bahasa kita; itu tidak beda dengan tiga
huruf mengerikan bernama P. Dan H. Dan K. Sounds familiar, right? Yes, that
PHK.

Anda tentu masih ingat kisah tragis legendaris yang menimpa kapal pesiar
Titanic yang tenggelam pada tanggal 14 April 1912. Peristiwa itu
diperkirakan menelan 1,500 korban jiwa. Para ahli mempercayai bahwa faktor
utama yang menyebabkan banyaknya jumlah korban jiwa bukanlah semata-mata
tenggelamnya kapal tersebut, melainkan; kurangnya jumlah sekoci yang ada
dikapal itu dibandingkan dengan jumlah penumpang yang ada. Mereka begitu
yakin bahwa Titanic tidak bisa tenggelam. Jadi, mengapa harus menyediakan
sekoci? Konon, ketika perisiwa itu terjadi; sesungguhnya masih banyak waktu
untuk melakukan penyelamatan. Namun, karena jumlah sekoci penyelamat hanya
sedikit, hanya sebagian kecil saja yang bisa diselamatkan.

Dalam kehidupan kerja pun kita sering berpikir seperti itu. Kita begitu
yakin bahwa kapal yang kita gunakan untuk mengarungi samudera dunia kerja
ini tidak akan tenggelam. Sehingga kita tidak merasa penting untuk memiliki
sekoci. Tetapi, berapa banyak sudah perusahaan yang gulung tikar dan
kemudian tenggelam seperti halnya Titanic? Jika kita boleh berkata tanpa
sensor, sesungguhnya dunia kerja kita lebih beresiko daripada Titanic. Apa
yang terjadi pada Titanic adalah musibah bagi semua penumpang. Semua orang
menghadapi masalah yang sama. Sebab; orang baik tidak ditendang keluar dari
kapal. Tetapi, dalam sebuah perusahaan; sudah sering terjadi seorang
karyawan ditendang keluar dari bahtera perusahaan semudah itu. Seperti
peristiwa yang menimpa sang CEO diatas itu.

Jika itu bisa terjadi kepada pimpinan puncak sebuah perusahaan; maka tidak
heran jika bisa dengan sangat gampangnya menimpa karyawan-karyawan dilevel
lainnya. Ya. Tentu saja. Anda sudah tahu itu. Bahkan mungkin sudah banyak
teman anda yang terkena PHK juga. Sayangnya, saat ini pun kita masih begitu
yakinnya untuk mengatakan bahwa kita tidak akan mengalami nasib seperti itu.
Sungguh, tidak ada yang menjaminnya. Sebab, bagaimanapun juga itu bisa
menimpa siapa saja. Karyawan yang jelek. Karyawan yang bagus. Karyawan
dilevel manapun juga. Direktur? Sudah banyak direktur yang terkena PHK juga,
bukan?


Seseorang menganggap saya ini terlampau pesimis dalam memandang masa depan
pekerjaan. Saya bilang;"Ada bedanya antara sikap pesimis dengan sikap
antisipatif. Seseorang yang pesimis, memandang dari sisi negatif, dan dia
tidak melakukan apa-apa untuk mempersiapkan dirinya, kecuali memelihara
perasaan was-was. Sedangkan, orang yang antisipatif, memandang sebuah resiko
secara rasional dan proporsional. Lalu dia mempersiapkan diri untuk
menghadapi situasi sulit jika terjadi sewaktu-waktu."

PHK adalah resiko kita sehari-hari. Kita tidak perlu terlampau percaya diri
dengan mengatakan bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi pada kita. Atau
sebaliknya terlalu takut jika mengalaminya. Sebab, selama kita
'mempersiapkan diri kita untuk menghadapi kemungkinan itu,' maka yakinlah
bahwa masa depan kita akan baik-baik saja. Paling tidak, kita tidak
terlampau syok, jika itu benar-benar terjadi. Dan yang lebih penting dari
itu adalah; memulai mempersiapkan 'sekoci' itu dari saat ini. Sekoci yang
selalu siap digunakan jika sewaktu-waktu kita membutuhkannya.

Begitu beragamnya reaksi orang ketika terjadi PHK. Ada yang panik. Ada yang
biasa-biasa saja. Ada pula yang senang alang kepalang. Ada orang yang
mendapatkan 'golden shake hand' tetapi hatinya miris dan menghadapi dunia
didepannya dengan tatapan pesimis. Ada yang mendapatkan uang pesangon
sekedar sesuai dengan peraturan yang tertuang dalam undang-undang; namun,
memandang masa depannya dengan antusias dan optimis. Mengapa sikap mereka
bisa beda begitu ya? Ternyata, orang-orang yang sudah 'mempersiapkan'
dirinya untuk situasi sulit seperti itu lebih bisa menghadapi kenyataan itu.
Mereka melihat sisi terangnya. Dan mereka menemukan bahwa; itu bukanlah
akhir dari segala-galanya.

Beberapa waktu lalu saya mendapatkan email dari seorang teman yang mengalami
'perlakuan' kurang patut diperusahaan. Menyimak kompleksnya permasalahan
yang dihadapinya, tidaklah mudah untuk meresponnya. Tetapi, tepat sehari
sebelum saya menerima email itu, saya bertemu dengan seorang sahabat lama.
Bagi saya, beliau bukan sekedar sahabat; melainkan juga seorang mentor.
Puncak karir beliau adalah Direktur Pengembangan Bisnis pada sebuah
perusahaan multinasional dengan pengalaman kerja 20 tahun.

Dia bangga dengan pencapaiannya. Dan dia tahu kualitas dirinya yang tinggi.
Namun, suatu ketika perusahaan memintanya untuk menduduki sebuah jabatan
lain. Jabatan itu levelnya bukan Direktur, melainkan manager biasa. Jelas,
orang ini diturunkan pangkatnya. Dan yang lebih menarik lagi adalah: posisi
baru yang harus dipegangnya adalah sebuah posisi yang sebelumnya berada
langsung dibawah kepemimpinannya. Sedangkan posisi direktur kini diduduki
oleh orang lain. Itu terjadi tahun 2002. Dan orang itu - dengan segala
kualitas diri yang dimilikinya - ketika bertemu dengan saya kemarin; menjadi
orang yang lebih berhasil dari sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa emas
tetaplah emas, meskipun terbenam dalam tanah berlumpur.
Saya sendiri mempunyai prinsip pribadi yang berbunyi; 'bersiap-siap seolah
akan terkena phk besok pagi.' Dengan prinsip itu, sedari sekarang saya mulai
mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Saya belajar banyak hal hari ini,
supaya besok bisa menjaga diri. Jika besok pagi saya mendapatkan phk itu,
sekurang-kurangnya secara mental saya sudah menjadi lebih siap. Sehingga,
bebannya mungkin akan menjadi lebih ringan. Apakah anda juga demikian?
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman

Catatan Kaki:
Jika kita berani menaiki sebuah kapal pesiar, maka pasti itu karena kita
yakin bahwa kapal itu akan sampai dengan selamat ketempat tujuan. Namun,
pasti kita akan merindukan sebuah sekoci jika sesuatu yang tidak diharapkan
terjadi.

=============================================================================================
widyanto duta nugroho
Business manager



Read More......

Minggu, 04 November 2007

Antara Rumah dan Kantor Oleh Ubaydillah, AN

Hasil survey AC Nelson dan pernah dimuat dalam sebuah media ibukota (Republika 7/12/97) menunjukkan adanya kebangkitan kaum wanita di Asia Tenggara dalam hal jabatan bisnis, politik, budaya dan lain-lain. Tanpa perlu mengecek ulang validitas hasil survey tersebut, dalam kehidupan kita sehari-hari pun kita juga bisa membuktikan bahwa jumlah kaum wanita yang keluar dari rumah untuk mengisi jabatan di organisasi tertentu semakin hari semakin meningkat. Bahkan Indonesia dan Philipina mengangkat wanita menduduki jabatan eksekutif tertinggi.

Apa yang penting untuk digarisbawahi disini bukanlah sekedar kebangkitan kaum wanita tetapi juga perubahan tatanan masyarakat dari agraris tradisional di mana wanita punya kavling hanya di rumah, ke masyarakat industri, informasi dan globalisasi yang memberi kavling bahwa kaum wanita setara dengan kaum lelaki. Perubahan tatanan masyarakat ini juga telah mengubah tatanan keluarga di mana semakin banyak jumlah rumah tangga yang pemimpinnya melakukan kegiatan di luar rumah. Kesetaraan inilah yang paling gampang dijadikan kambing-hitam kalau ditanya mengapa keluarga di zaman agraris tradisional tidak memiliki kerentanan bercerai sebesar keluarga yang suami-istri memiliki kemandirian yang sama.


Kalau dirujukkan pada The Law of Universe bahwa semua yang terjadi di luar merupakan refleksi dari yang terjadi di dalam, sebenarnya tudingan kambing hitam itu hanyalah limbah dari kreasi yang kurang diakarkan pada kebenaran misi. Dengan kata lain, tatanan masyarakat akan berubah atau tidak berubah, rumah tangga tetaplah rumah tangga dan pekerjaan di luar rumah adalah sesuatu yang terpisah tetapi menuntut untuk diletakkan pada posisi yang saling mendukung. Agar dapat membuat posisi demikian mau tidak mau menuntut upaya menaati hukum yang mengatur masing-masing wilayah agar tidak terjadi konflik.


Hukum Wilayah


Sebagaimana kita ketahui bahwa hukum yang bekerja mengatur kehidupan manusia di dunia ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: Hukum Alam atau Hukum Tuhan dan Hukum Buatan Manusia. Hukum Alam atau hukum Tuhan adalah hukum ideal di langit yang mengatur bagaimana seluruh isi dunia ini bekerja menurut The Law of Habit-Force yang mengatur atau ‘cause and effect’. Sebagai makhluk yang dikarunia akal budi, manusia diberi kemampuan memilih dengan kemungkinan untuk menaati atau tidak menaati hukum tersebut. Atas dasar kemampuan memilih itulah, manusia kemudian menciptakan hukum yang dibuat sendiri atau dibuatkan untuk mengatur kesesuaian atau aturan main bagaimana manusia dan dunia ini bekerja berdasarkan mekanisme bumi baik secara tertulis dan tak tertulis, atau formal dan non-formal.

Salah satu aturan main yang tidak tertulis tetapi bekerja mengatur kehidupan manusia adalah adanya hukum yang didasarkan pada kebenaran situasional dan memiliki pengaruh riil pada proses realisasi kepentingan interaksi antarsesama. Untuk sekedar memberi istilah, katakanlah misalnya saja, Hukum Wilayah. Hukum ini adalah bagian tak tertulis dari hukum yang mengatur kehidupan manusia yang menghakimi persoalan berdasarkan kepentingan wilayah seperti wilayah keluarga atau bisnis. Pada tingkat riil, antara bisnis dan keluarga memiliki acuan kebenaran hukum wilayah yang berbeda.

Wilayah keluarga selain memiliki acuan pada kedua hukum yang sudah ada, di sisi lain juga diatur oleh hukum wilayah yaitu kerukunan dan keretakan. Setepat apapun posisi benar yang dimiliki orang dalam menyelesaikan urusan keluarga tetapi kalau akhirnya membuat keluarga itu menjadi retak, maka pada tingkat riil kebenaran itu tidak murni kebenaran. Sebab hukum wilayah keluarga tidak membedakan orang benar atau salah tetapi mengganjar keluarga rukun dan keluarga retak.

Sementara wilayah bisnis selain punya acuan pada kedua hukum yang sudah ada, juga memiliki hukum wilayah yaitu keuntungan dan kerugian. Meskipun orang menjalankan bisnis dengan baik dan benar dalam arti tidak melanggar hukum pertama dan kedua, namun kalau bisnis itu rugi jelas siapapun tidak berani seratus persen mengakui kebaikan dan kebenaran yang dijalankan. Pepatah bijak menggambarkan bahwa organisasi bisnis dengan tujuan baik dan benar tetapi tidak dikendalikan oleh menajamen kepintaran sudah akan pasti dikalahkan oleh organisasi yang dikendalikan kepintaran meskipun tujuannya jahat. Tentu pepatah itu tidak mengatakan secara implicit bahwa kejahatan bisa memenangkan kebenaran akan tetapi murni sebuah ajaran memahami hukum yang berlaku pada wilayah tertentu. Artinya selain harus baik dan benar, orang juga dituntut untuk menjadi pintar memnciptakan keuntungan dalam bisnis

Uraian singkat mengenai hukum wilayah di atas sebenarnya sudah pernah disinggung dalam Hukum Alam melalui lembaga agama yang menjadi bagian penting dari dasar hidup kita. Salah satu ajaran yang dapat dijadikan rujukan adalah, kalau anda sedang bekerja di kantor atau urusan bisnis, isilah muatan pikiran dengan imajinasi dan motivasi bahwa hidup anda masih panjang dan membutuhkan sebanyak mungkin cadangan memenuhi kebutuhan masa depan termasuk keluarga. Sebab dunia ini diciptakan menjadi ruang berusaha. Tetapi ketika anda masuk tempat ibadah: masjid, gereja, wihara, dll, segeralah anda mengganti isi muatan pikiran dengan imajinasi dan motivasi bahwa kematian besok akan menjemput anda sementara masih banyak dosa yang belum diperbaiki. Padahal kehidupan setelah kematian adalah ruang di mana semua usaha manusia dihakimi.

Tidak hanya itu, tradisi Timur juga mengakui adanya hukum wilayah yang dibuktikan dengan memasukkan asas kekeluargaan dalam menyelesaikan perselisihan kontrak bisnis resmi sebelum perselisihan dibawa ke meja hijau. Itu menunjukkan seberapa besar perselisihan bisnis yang muncul maka tetap diupayakan untuk menemukan pilihan agar tetap rukun. Dan sebagaimana sudah disinggung di atas, kerukunan adalah asas hukum wilayah keluarga.

Uraian singkat di atas menggambarkan bahwa sebenarnya antara keluarga dan bisnis memiliki asas hukum wilayah tersendiri selain asas benar-salah. Jika kemudian antara wilayah bisnis dan keluarga diposisikan secara bertentangan atau saling mendukung, maka sepenuhnya kembali lagi pada formula hukum lain yang mengatakan bahwa hidup ini adalah masalah menentukan pilihan dan merasakan konsekuensi (internal choice). Maksudnya lebih pada bagaimana orang menangani situasi di dalam dirinya. Hanya saja, selain persoalan internal, tidak kalah pentingnya juga mempertimbangkan aspek eksternal yang menurut laporan riset tahunan Ford Foundation (The Separation of Life and Work: How We Got Here, 2003) terdiri dari tiga aspek, yaitu: work practice, work structure, dan work culture. Artinya, untuk mereduksi konflik nilai antara bisnis dan keluarga diperlukan kesesuaian seoptimal mungkin dalam memilih antara jenis pekerjaan, struktur organisasi pekerjaan dan budaya kerja.

Pembelajaran Diri

Dari aspek eksternal sebenarnya hasil riset di atas sudah dapat dijadikan acuan bagaimana individu dalam keluarga memilih perkerjaan yang seirama dengan keluarga untuk mereduksi kemungkinan munculnya limbah yang menjadi kambing hitam. Tetapi mengingat penyelesaian limbah yang diakibatkan oleh aspek eksternal juga akhirnya bergantung pada bagaimana kemampuan seseorang mengolah bahan solusi di dalam, maka secara tidak langsung juga menuntut upaya pembelajaran diri untuk menempatkan hubungan sinergis antara pekerjaan kantor dan keluarga berdasarkan hukum wilayah yang mengaturnya.

Mungkin menjadi persoalan pribadi yang saling berbeda kalau misalnya ditanyakan mana yang lebih penting antara urusan kantor dan urusan keluarga. Tetapi fakta yang tidak bisa ditolak adalah keduanya sama-sama penting berdasarkan kepentingan situasi sehingga yang dibutuhkan sebenarnya adalah pengaturan atau manajemen yang menitikberatkan pada kesadaran realisasi misi. Tanpa kesadaran ini kemungkinan besar yang terjadi berupa munculnya alasan yang membenarkan untuk membuka ruang mengalahkan yang satu atas yang lain. Artinya orang tidak bisa mengabaikan urusan keluarga dengan alasan waktunya habis di kantor atau mengabaikan urusan kantor karena berkeluarga padahal keduanya dibutuhkan. Pertanyaannya, bagaimana kesadaran realisasi misi dapat diwujudkan dalam konteks hubungan kantor dan rumah?


1.
Pengorbanan


Dalam kehidupan berkeluarga, dibutuhkan pengorbanan dalam bentuk yang beragam mulai dari pengorbanan untuk memahami hukum yang bekerja pada wilayah masing-masing juga mungkin yang paling penting adalah pengorbanan dalam bentuk peleburan egoisme kepentingan pribadi menjadi kepentingan misi bersama. Peleburan ini kenyataannya memainkan peranan vital tidak saja pada tingkat hubungan antara kantor dan rumah tetapi di dalam rumah antara suami dan istri. Boleh dikatakan semua orang bisa menandatangani surat nikah tetapi yang tidak semua orang bisa lakukan adalah pembelajaran diri bagaimana meletakkan egoisme kepentingan pribadi sebagai perempuan dan laki-laki di bawah kepentingan misi keluarga sebagai suami / ayah atau sebagai ibu / isteri.

Proses pembelajaran diri inilah yang bisa menjelaskan fakta umum bahwa berkeluarga baru dirasakan keluarga sehidup semati umumnya setelah sekian lama seorang laki-laki dan perempuan hidup dalam rumah tangga. Tanpa pembelajaran diri untuk mengorbankan kepentingan egoisme, bukan jaminan kalau waktu yang panjang bisa membuat rasa berkeluarga bisa dinikmati. Dengan kata lain, kalau orang memilih struktur keluarga di mana suami dan / atau istri bekerja di luar rumah maka proyek pertama untuk dipertimbangkan adalah kesediaan berkorban demi kepentingan misi bersama berdasarkan hukum wilayah yang sudah berlaku.


2.
Standard Kualitas


Dengan tatanan masyarakat yang sudah berubah menjadi global, modern, dan industrialis, rasanya tidak lagi tepat menjadikan ukuran kerukunan keluarga ditentukan oleh faktor yang membedakan antara ibu rumah tangga di rumah dan bekerja di luar kantor atau suami / istri bekerja di luar rumah dalam satu kantor. Tawaran yang memicu kompleksitas hidup bisa muncul di mana saja dan kapan saja baik di rumah atau di kantor sehingga satu-satunya sokoguru yang menentukan kompleksitas itu menganggu dan tidak menganggu kehidupan seseorang adalah bagaimana kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh yang bersangkutan mampu menyelesaikan gangguan yang ada.

Tidak seorang pun yang mampu menghentikan dinamika perubahan tatanan masyarakat. Justru yang dibutuhkan adalah memperkuat pertahanan kualitas di mana masing-masing individu dalam keluarga bertindak selaku pembelajar dan pendidik bagi dirinya dan anak-anak, terlepas apakah keduanya bekerja di luar rumah atau di dalam. Faktor kuantitas fisik dengan perubahan tatanan masyarakat yang sedemikan rupa berubah tidak lagi menjadi faktor kunci.


3.
Keseimbangan


Supaya tetap seimbang dalam arti berada di dalam norma yang dibutuhkan, maka keseimbangan menuntut kontrol-diri secara terus-menerus atau dengan kata lain seperti yang sudah dijelaskan dalam artikel sebelumnya menuntut aplikasi The Science of Cybernetics secara mental. Ibaratnya seperti kulit yang bersentuhan dengan benda panas yang langsung secara reflek bergerak untuk menemukan norma lain. Selain menuntut kontrol-diri, menjaga keseimbangan juga menuntut kesedian atau semangat untuk memperbaiki dan diperbaiki berdasarkan dinamika perkembangan situasi. Di dalam bisnis, orang mudah memperoleh pengetahuan bisnis dari berbagai sumber: sekolah atau dokumen pengalaman orang lain di samping juga jabatan bisnis bisa berganti dan berubah. Tetapi di dalam keluarga, orang hanya diizinkan menjadi ayah / ibu seumur hidup sekali sehingga menjadikan kesediaan memperbaiki dan diperbaiki sebagai faktor penting.

Uraian tentang hukum wilayah di atas hanyalah gambaran sekaligus barangkali dapat dijadikan referensi hidup. Sebagai gambaran, berarti hukum wilayah yang menganjurkan bagaimana seharusnya persoalan diletakkan dan diselesaikan, tidak saja terbatas pada wilayah keluarga dan bisnis. Tetapi hukum wilayah itu berlaku seluas eksplorasi wilayah yang kita jalankan. Selamat menemukan hukum wilayah lain yang bekerja. (jp)










Read More......

Mengantisipasi Kelumpuhan Karir Oleh: Ubaydillah, AN

Hmmm.... BOSAN KERJA???? memang ini suatu hal yang terus menghantui diriku minggu-minggu terakhir ini, Kenapa ?, memang ada pemicu Internal (lingkungan kerja) yang membuat diriku bosan dengan rutinitas kantor dari minggu ke minggu dari bulan ke bulan,...sambil coba-coba cari lowongan ditempat lain, nggak ada salahnya memotivasi diri dengan tulisan-tulisan pemicu semangat seperti artikel dibawah ini ........

Berawal Dari Ketidakpuasan


Meski kita disebut makhluk pelupa, tapi masih diberi kemampuan untuk mengabadikan ingatan terhadap sesuatu. Selain pernikahan atau cinta pertama, peristiwa yang tak mungkin terlupakan adalah ketika kita menerima pekerjaan baru. Ini umumnya terlepas apakah kita baru sekali itu bekerja atau tidak.

Kalau mengingat ke belakang, saat itu kita benar-benar merasa puas. Kepuasan itu kita ekspresikan dengan antusian kerja yang tinggi, disiplin, motivasi yang bagus, kesediaan belajar dan menerima pelajaran dari orang lain, dan lain-lain. Kita benar-benar merasa memiliki alasan yang cukup kuat untuk mensyukuri apa yang kita dapatkan.

Tapi, seiring dengan proses waktu, kepuasan itu mulai menurun atau memudar. Ini biasanya terekpresikan dari mulai misalnya: setengah hati menghadapi hari Senin, merasa plong secara berlebihan pada Jum’at atau Sabtu sore, jenuh atau bosan terhadap pekerjaan yang kira rasakan itu-itu saja, merasa tidak bangga lagi terhadap profesi atau pekerjaannya, merasa kehilangan gairah untuk mensyukuri pekerjaan, dan lain-lain.


Kalau melihat temuan dari sejumlah studi di bidang karir, ada yang bisa dijadikan petunjuk. Studi mengungkap sebagian besar karyawan punya antusias tinggi ketika menemukan pekerjaan baru. Tapi, antusias itu akan menurun setelah enam bulan bekerja. Ini dirasakan oleh 85 % dari 1000 perusahaan yang dijadikan objek studi dan melibatkan kurang lebih satu setengah juta karyawan dari sejak tahun 2000-2004 (Sirota Survey Intelligence, New York).

Studi lain mengungkap bahwa kegairahan karyawan hanya akan berlangsung paling maksimal satu tahun dari sejak setelah mendapatkan pekerjaan. Selama masa satu tahun pertama ini, mereka sangat antusias, komitmennya bagus, bersedia untuk menerima nasehat dari atasannya, dan datangnya tepat waktu(The Gallup Organization, 2003).

Pertanyaannya adalah, apa yang menyebabkan itu terjadi? Karena ini masalah manusia, maka biasanya masalah itu muncul bukan bersumber dari satu sebab. Mayoritas masalah manusia bersumber dari dua hal, yaitu:

1. Pemicu

Yang saya maksudkan dengan pemicu di sini adalah sebab-sebab yang berasal dari luar (faktor eksternal). Berbicara mengenai pemicu dalam kaitannya dengan kepuasan / ketidakpuasan kerja, mungkin cakupannya bisa kita uraikan, antara lain:

Pekerjaan itu sendiri

Gaji, tunjangan, penghasilan

Lingkungan kerja

Perkembangan karir

Penilaian kerja

Perlakuan manajemen

Pembagian / penunjukan kerja

Dan lain-lain sejauh yang terkait dengan soal puas dan tidak puas.

Jika ada sebagian dari hal-hal yang saya sebutkan di atas yang menurut kita tidak sesuai lagi atau tidak fair, maka benih-benih ketidakpuasan mulai tumbuh. Dan jika ini terus berlanjut dan terus berlanjut, maka benih itu tumbuh membesar sampai kemudian membentuk ekspresi riil yang bermacam-macam. Ada yang kehilangan perspektif positif menyangkut tempat kerja. Asal bicara kerjaan, komentarnya sudah asem saja. Ada yang malas-malasan, ada yang ingin pindah tetapi hanya ingin dan ada yang benar-benar pindah.

2. Penentu

Penentu di sini adalah sebab-sebab yang bersumber dari dalam diri kita. Apa yang kita ciptakan dari dalam diri kita (dari mulai pandangan, pemikiran, penyikapan, keputusan, tindakan), dalam menghadapi pemicu adalah yang menentukan kita. Karena itu, ada banyak pesan yang mengingatkan kita tentang hal ini. Pesan itu antara lain begini;

“Nasibmu tidak ditentukan oleh apa yang menimpamu tetapi ditentukan oleh apa yang kamu lakukan atas apa yang menimpamu.”

“It’s not what on you, but it’s what in you.”

“Tindakanmu adalah fungsi dari keputusanmu, bukan fungsi dari keadaanmu.”

Dan masih banyak lagi pesan serupa yang kerap kita dengar.

Jika semua ini kita gunakan untuk menjelaskan fenomena kepuasan dan ketidakpuasan, maka penjelasan yang mungkin kita tangkap adalah bahwa hal-hal yang menurut kita tidak sesuai atau tidak fair, memang memunculkan ketidakpuasan. Hanya saja, apakah ketidakpuasan itu akan kita gunakan untuk memperbaiki atau merusak diri, itu pilihan kita. Artinya pilihan di sini adalah kita yang menentukan. Kitalah sang penentu itu. Fungsi ini tidak bisa kita lemparkan kepada siapapun biarpun kita menolaknya. Ini karena akibat riilnya akan kembali kepada kita juga.

Jujur perlu kita akui, meski kita sudah mengetahui perbedaan antara pemicu dan penentu dalam teori, namun prakteknya masih kerap kita lupakan. Ketika ketidakpuasan itu berubah menjadi hal-hal yang merusak karir kita, hampir tidak ada yang secara gentle mengakui bahwa itu lahir karena keputusan kita juga. Umumnya, kita menunjuk siapapun atau apapun yang penting bukan diri kita.

Kelumpuhan karir

Kelumpuhan karir (Career Paralyse) sebetulnya hanya sebuah istilah untuk menggambarkan adanya dinamika karir seseorang yang sudah tidak bergerak lagi, entah itu ke atas atau ke samping. Meminjam istilah dari banyak literatur, orang yang terkena ini langkahnya seperti orang yang terpenjara (trapped), putus asa atau tidak punya harapan lagi ketika berbicara soal karir atau profesi. Wilayah kehidupan lain di luar karir juga terkena imbas buruk, tertekan oleh perasaan tidak aman atau tidak layak.

Dalam prakteknya kerap kita jumpai ada sekelompok orang yang dinamika karirnya bergerak membaik tetapi ada juga yang dinamika karirnya sudah mandek atau lumpuh di level tertentu. Tentu saja ini diukur menurut keadaan masing-masing orang. Pesan John Maxwell mengatakan: “Banyak orang yang akhirnya berada di tempat (kerja) yang salah karena mereka mendiami tempat yang tepat terlalu lama.” Tanda-tanda paling umum yang perlu kita waspadai seputar munculnya kelumpuhan itu adalah:

Benar-benar merasa tidak bahagia dengan pekerjaan atau profesi yang ada

Depresi berat meski sudah promosi, rotasi, dsb

Kecenderungan untuk melakukan kritik-diri secara berlebihan

Motivasi dan semangat berkompetisi yang sangat rendah

Rasa rendah diri

Tidak memiliki tujuan yang jelas dan jelas-jelas kita perjuangkan

Menurut laporan studi di bidang karir, hal-hal buruk di atas tidak muncul seketika dan langsung banyak, melainkan berproses. Kelumpuhan terjadi karena adanya pengabaian yang berproses dari titik tertentu ke titik yang lain. Untuk koreksi-diri, marilah kita lihat proses di bawah ini:

Dissatisfaction (Ketidakpuasan)
Demotivation (Kehilangan sumber motivasi)

Paralyse (Kelumpuhan)

Awalnya, kelumpuhan itu berawal dari ketidak-puasan yang diabaikan. Kita merasa tidak puas dengan keadaan sekarang tetapi ketidakpuasan itu kita biarkan menjadi energi negatif. Atau juga kita menjumpai hal-hal yang membuat kehilangan alasan untuk bersyukur tetapi itu kita biarkan atau tidak kita transfromasikan menjadi energi positif.

Dalam hitungan yang ke sekian juta kali, ketidak-puasan itu muncul dari batin kita dan selalu kita biarkan, maka lahirlah sel-sel baru. Jadilah ia demotivator dalam bentuk: tidak ada gairah berprestasi ke tingkat yang lebih tinggi, kehilangan visi pribadi ke depan, bekerja dengan niat asalkan gaji bulanan lancar, dan seterusnya.

Sampai pada tahap di mana sebagian besar kebiasaan kerja kita didominasi oleh ketidakpuasan dan demotivasi, maka sangat masuk akal jika yang terjadi adalah kelumpuhan. Ibarat kata, biarpun ilmu manajemen kita segunung, tetapi kalau batin ini bermasalah, kemungkinan besar ilmu yang segunung itu tak bisa berbuat banyak. Biarpun jaringan kita banyak, tetapi kalau batin kita bermasalah, maka jaringan yang banyak itu tak bisa berbuat banyak untuk kemajuan karir kita.


Menjadikan sebagai pemacu

Dilihat dari perspektif ketuhanan, munculnya perasaan tidak puas atas keadaan yang ada, itu bukan sesuatu yang tanpa guna. Ketidakpuasan ada gunanya dan kitalah yang diberi pilihan untuk menggunakannya. Jika diikuti perspekstif ini, berarti kita diharapkan dapat menggunakan ketidakpuasan yang muncul sebagai pemacu atau pendorong untuk melakukan hal-hal yang positif.

Karena itu, Dr. Felice Leonardo Buscaglia, American Professor of Education, pernah berpesan: "Perubahan adalah hasil akhir dari pembelajaran. Perubahan itu melibatkan tiga langkah, yaitu: pertama, ketidakpuasan. Kedua keputusan untuk berubah guna memenuhi penolakan atau kebutuhan. Ketiga,kesadaran untuk mengabdikan diri pada proses perkembangan." Seperti kita sadari, memang tidak semua perubahan membawa perbaikian yang langsung buat kita, tetapi semua perbaikan menuntut perubahan.

Terkait dengan pembahasan kita kali ini, pertanyaannya adalah bagaimana mengelola ketidakpuasan itu agar tidak menjadi benih-benih kelumpuhan karir seperti yang sudah dibahas di muka? Barangkali kita bisa melakukan tiga hal berikut ini:

Pertama, menyadari bahwa ketidakpuasan itu bisa kita gunakan sebagai pemacu dan menggunakannya untuk memacu diri. Seperti yang sudah kita bahas, ketidakpuasan itu netral gunanya meski rasanya sama. Karena netral (bisa killer dan bisa builder), maka jangan heran bila ada sebagian orang yang semakin terpacu dan ada lagi yang malah menjadi lumpuh. Ini bukti bahwa perbedaan ini tidak diciptakan dari ketidakpuasan itu, melainkan diciptakan dari bagaimana orang itu menggunakan ketidakpuasannya. Jangan heran bila dalam satu realitas, ada orang yang mendapatkan pencerahan dan ada orang yang mendapatkan kegelapan.

Dengan menjadikan ketidakpuasan itu sebagai pemacu atau pendorong kemajuan maka di sini posisi kita secara mental bukan menjadi korban atas ketidakpuasan tapi sebagai penguasa atas ketidakpuasan itu. Selain Anthony Robbins, Saya kira di dunia ini sudah banyak orang yang sanggup menggunakan ketidakpuasannya untuk meraih prestasi yang lebih tinggi atau untuk memperbaiki dirinya. “Rahasia untuk berprestasi adalah belajar bagaimana menggunakan kesengsaraan dan kesenangan, bukan menjadi korban kesengsaraan atau kesenangan. Jika kamu melakukan ini maka kamu akan bisa mengontrol hidupmu dan sebaliknya jika kamu tidak melakukannya, maka kamu akan dikontrol,” begitu kesimpulan Robbins

Kedua, realisasikan ke dalam program perbaikan. Seperti kita tahu, untuk meraih kemajuan atau perbaikan tentu tidak cukup dengan hanya memiliki dorongan yang kuat atau keinginan yang kuat. yang dibutuhkan selain itu adalah merealisasikan keinginan yang keras itu ke dalam sebuah program perbaikan yang spesifik dan riil. Kenapa harus spesifik? Biasanya, program perbaikan yang kita inginkan itu jumlahnya amat banyak. Apalagi dalam kondisi ketidakpuasan. Inginnya kita adalah mengubah diri secara total (total improvement) dan sekaligus.

Meski sedemikian rupa keinginan itu, tapi bila kemampuan kita tidak sampai, keinginan itu pasti gagal. Untuk menghindari ini harus ada perbaikan yang spesifik berdasarkan prioritas. Inilah yang disebut learning atau belajar menjadi lebih baik dari praktek.

Ketiga adalah mengelola emosi. Seperti kita alami, perasaan ketidakpuasan itu dinamis sifatnya. Untuk satu hal, untuk satu keadaan dan satu tempat, bisa saja terkadang kita merasa tidak puas, dan terkadang kita puas. Jadi, selain dinamis juga temporer. Karena itu, tidak terlalu tepat juga kalau kita menggunakan setiap ketidakpuasan itu untuk menyusun program perbaikan baru.

Nah, di sini saya melihat bahwa mengelola emosi itu penting, karena akan mengajarkan kapan kita menggunakan ketidakpuasan sebagai pemacu untuk merumuskan program perbaikan baru dan kapan kita menggunakan ketidakpuasan itu sebagai spirit untuk menjalankan program yang sudah kita rumuskan. Kalau kita sedikit-sedikit bongkar pasang rencana, judul akhirnya malah tidak karu-karuan. Tetapi kalau kita tidak merumuskan rencana baru atau memiliki standar prestasi yang baru, ini biasanya malah membikin kita mandek yang berujung pada apa yang disebut dengan kelumpuhan karir itu.

Dengan tiga hal di atas katakanlah misalnya nasib karir kita belum sebagus yang kita inginkan, tetapi yang paling penting di sini adalah batin kita dinamis. Dengan batin yang dinamis ini langkah kita menjadi dinamis dan lebih enteng. Kalau langkah kita menjadi enteng, saya pikir ini berbeda dengan ketika langkah kita yang telah dipenuhi oleh beban ketidakpuasan. Kita bagaikan kendaraan yang kelebihan muatan. Biarkan gas sudah kita tancap sedemikian kuat, tapi kecepatannya masih belum optimal. Seperti pesan seorang atlit, masalahnya bukan di luar diri kita, tetapi di dalam diri kita.

Kita memang tidak bisa menciptakan perubahan karir dalam satu malam, tetapi keputusan kita untuk melakukan perubahan atau menggunakan ketidakpuasan sebagai pemacu perubahan, bisa kita lakukan dari mulai malam ini juga. Benar ‘kan?





Read More......