Hasil survey AC Nelson dan pernah dimuat dalam sebuah media ibukota (Republika 7/12/97) menunjukkan adanya kebangkitan kaum wanita di Asia Tenggara dalam hal jabatan bisnis, politik, budaya dan lain-lain. Tanpa perlu mengecek ulang validitas hasil survey tersebut, dalam kehidupan kita sehari-hari pun kita juga bisa membuktikan bahwa jumlah kaum wanita yang keluar dari rumah untuk mengisi jabatan di organisasi tertentu semakin hari semakin meningkat. Bahkan Indonesia dan Philipina mengangkat wanita menduduki jabatan eksekutif tertinggi.
Apa yang penting untuk digarisbawahi disini bukanlah sekedar kebangkitan kaum wanita tetapi juga perubahan tatanan masyarakat dari agraris tradisional di mana wanita punya kavling hanya di rumah, ke masyarakat industri, informasi dan globalisasi yang memberi kavling bahwa kaum wanita setara dengan kaum lelaki. Perubahan tatanan masyarakat ini juga telah mengubah tatanan keluarga di mana semakin banyak jumlah rumah tangga yang pemimpinnya melakukan kegiatan di luar rumah. Kesetaraan inilah yang paling gampang dijadikan kambing-hitam kalau ditanya mengapa keluarga di zaman agraris tradisional tidak memiliki kerentanan bercerai sebesar keluarga yang suami-istri memiliki kemandirian yang sama.
Kalau dirujukkan pada The Law of Universe bahwa semua yang terjadi di luar merupakan refleksi dari yang terjadi di dalam, sebenarnya tudingan kambing hitam itu hanyalah limbah dari kreasi yang kurang diakarkan pada kebenaran misi. Dengan kata lain, tatanan masyarakat akan berubah atau tidak berubah, rumah tangga tetaplah rumah tangga dan pekerjaan di luar rumah adalah sesuatu yang terpisah tetapi menuntut untuk diletakkan pada posisi yang saling mendukung. Agar dapat membuat posisi demikian mau tidak mau menuntut upaya menaati hukum yang mengatur masing-masing wilayah agar tidak terjadi konflik.
Hukum Wilayah
Sebagaimana kita ketahui bahwa hukum yang bekerja mengatur kehidupan manusia di dunia ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: Hukum Alam atau Hukum Tuhan dan Hukum Buatan Manusia. Hukum Alam atau hukum Tuhan adalah hukum ideal di langit yang mengatur bagaimana seluruh isi dunia ini bekerja menurut The Law of Habit-Force yang mengatur atau ‘cause and effect’. Sebagai makhluk yang dikarunia akal budi, manusia diberi kemampuan memilih dengan kemungkinan untuk menaati atau tidak menaati hukum tersebut. Atas dasar kemampuan memilih itulah, manusia kemudian menciptakan hukum yang dibuat sendiri atau dibuatkan untuk mengatur kesesuaian atau aturan main bagaimana manusia dan dunia ini bekerja berdasarkan mekanisme bumi baik secara tertulis dan tak tertulis, atau formal dan non-formal.
Salah satu aturan main yang tidak tertulis tetapi bekerja mengatur kehidupan manusia adalah adanya hukum yang didasarkan pada kebenaran situasional dan memiliki pengaruh riil pada proses realisasi kepentingan interaksi antarsesama. Untuk sekedar memberi istilah, katakanlah misalnya saja, Hukum Wilayah. Hukum ini adalah bagian tak tertulis dari hukum yang mengatur kehidupan manusia yang menghakimi persoalan berdasarkan kepentingan wilayah seperti wilayah keluarga atau bisnis. Pada tingkat riil, antara bisnis dan keluarga memiliki acuan kebenaran hukum wilayah yang berbeda.
Wilayah keluarga selain memiliki acuan pada kedua hukum yang sudah ada, di sisi lain juga diatur oleh hukum wilayah yaitu kerukunan dan keretakan. Setepat apapun posisi benar yang dimiliki orang dalam menyelesaikan urusan keluarga tetapi kalau akhirnya membuat keluarga itu menjadi retak, maka pada tingkat riil kebenaran itu tidak murni kebenaran. Sebab hukum wilayah keluarga tidak membedakan orang benar atau salah tetapi mengganjar keluarga rukun dan keluarga retak.
Sementara wilayah bisnis selain punya acuan pada kedua hukum yang sudah ada, juga memiliki hukum wilayah yaitu keuntungan dan kerugian. Meskipun orang menjalankan bisnis dengan baik dan benar dalam arti tidak melanggar hukum pertama dan kedua, namun kalau bisnis itu rugi jelas siapapun tidak berani seratus persen mengakui kebaikan dan kebenaran yang dijalankan. Pepatah bijak menggambarkan bahwa organisasi bisnis dengan tujuan baik dan benar tetapi tidak dikendalikan oleh menajamen kepintaran sudah akan pasti dikalahkan oleh organisasi yang dikendalikan kepintaran meskipun tujuannya jahat. Tentu pepatah itu tidak mengatakan secara implicit bahwa kejahatan bisa memenangkan kebenaran akan tetapi murni sebuah ajaran memahami hukum yang berlaku pada wilayah tertentu. Artinya selain harus baik dan benar, orang juga dituntut untuk menjadi pintar memnciptakan keuntungan dalam bisnis
Uraian singkat mengenai hukum wilayah di atas sebenarnya sudah pernah disinggung dalam Hukum Alam melalui lembaga agama yang menjadi bagian penting dari dasar hidup kita. Salah satu ajaran yang dapat dijadikan rujukan adalah, kalau anda sedang bekerja di kantor atau urusan bisnis, isilah muatan pikiran dengan imajinasi dan motivasi bahwa hidup anda masih panjang dan membutuhkan sebanyak mungkin cadangan memenuhi kebutuhan masa depan termasuk keluarga. Sebab dunia ini diciptakan menjadi ruang berusaha. Tetapi ketika anda masuk tempat ibadah: masjid, gereja, wihara, dll, segeralah anda mengganti isi muatan pikiran dengan imajinasi dan motivasi bahwa kematian besok akan menjemput anda sementara masih banyak dosa yang belum diperbaiki. Padahal kehidupan setelah kematian adalah ruang di mana semua usaha manusia dihakimi.
Tidak hanya itu, tradisi Timur juga mengakui adanya hukum wilayah yang dibuktikan dengan memasukkan asas kekeluargaan dalam menyelesaikan perselisihan kontrak bisnis resmi sebelum perselisihan dibawa ke meja hijau. Itu menunjukkan seberapa besar perselisihan bisnis yang muncul maka tetap diupayakan untuk menemukan pilihan agar tetap rukun. Dan sebagaimana sudah disinggung di atas, kerukunan adalah asas hukum wilayah keluarga.
Uraian singkat di atas menggambarkan bahwa sebenarnya antara keluarga dan bisnis memiliki asas hukum wilayah tersendiri selain asas benar-salah. Jika kemudian antara wilayah bisnis dan keluarga diposisikan secara bertentangan atau saling mendukung, maka sepenuhnya kembali lagi pada formula hukum lain yang mengatakan bahwa hidup ini adalah masalah menentukan pilihan dan merasakan konsekuensi (internal choice). Maksudnya lebih pada bagaimana orang menangani situasi di dalam dirinya. Hanya saja, selain persoalan internal, tidak kalah pentingnya juga mempertimbangkan aspek eksternal yang menurut laporan riset tahunan Ford Foundation (The Separation of Life and Work: How We Got Here, 2003) terdiri dari tiga aspek, yaitu: work practice, work structure, dan work culture. Artinya, untuk mereduksi konflik nilai antara bisnis dan keluarga diperlukan kesesuaian seoptimal mungkin dalam memilih antara jenis pekerjaan, struktur organisasi pekerjaan dan budaya kerja.
Pembelajaran Diri
Dari aspek eksternal sebenarnya hasil riset di atas sudah dapat dijadikan acuan bagaimana individu dalam keluarga memilih perkerjaan yang seirama dengan keluarga untuk mereduksi kemungkinan munculnya limbah yang menjadi kambing hitam. Tetapi mengingat penyelesaian limbah yang diakibatkan oleh aspek eksternal juga akhirnya bergantung pada bagaimana kemampuan seseorang mengolah bahan solusi di dalam, maka secara tidak langsung juga menuntut upaya pembelajaran diri untuk menempatkan hubungan sinergis antara pekerjaan kantor dan keluarga berdasarkan hukum wilayah yang mengaturnya.
Mungkin menjadi persoalan pribadi yang saling berbeda kalau misalnya ditanyakan mana yang lebih penting antara urusan kantor dan urusan keluarga. Tetapi fakta yang tidak bisa ditolak adalah keduanya sama-sama penting berdasarkan kepentingan situasi sehingga yang dibutuhkan sebenarnya adalah pengaturan atau manajemen yang menitikberatkan pada kesadaran realisasi misi. Tanpa kesadaran ini kemungkinan besar yang terjadi berupa munculnya alasan yang membenarkan untuk membuka ruang mengalahkan yang satu atas yang lain. Artinya orang tidak bisa mengabaikan urusan keluarga dengan alasan waktunya habis di kantor atau mengabaikan urusan kantor karena berkeluarga padahal keduanya dibutuhkan. Pertanyaannya, bagaimana kesadaran realisasi misi dapat diwujudkan dalam konteks hubungan kantor dan rumah?
1.
Pengorbanan
Dalam kehidupan berkeluarga, dibutuhkan pengorbanan dalam bentuk yang beragam mulai dari pengorbanan untuk memahami hukum yang bekerja pada wilayah masing-masing juga mungkin yang paling penting adalah pengorbanan dalam bentuk peleburan egoisme kepentingan pribadi menjadi kepentingan misi bersama. Peleburan ini kenyataannya memainkan peranan vital tidak saja pada tingkat hubungan antara kantor dan rumah tetapi di dalam rumah antara suami dan istri. Boleh dikatakan semua orang bisa menandatangani surat nikah tetapi yang tidak semua orang bisa lakukan adalah pembelajaran diri bagaimana meletakkan egoisme kepentingan pribadi sebagai perempuan dan laki-laki di bawah kepentingan misi keluarga sebagai suami / ayah atau sebagai ibu / isteri.
Proses pembelajaran diri inilah yang bisa menjelaskan fakta umum bahwa berkeluarga baru dirasakan keluarga sehidup semati umumnya setelah sekian lama seorang laki-laki dan perempuan hidup dalam rumah tangga. Tanpa pembelajaran diri untuk mengorbankan kepentingan egoisme, bukan jaminan kalau waktu yang panjang bisa membuat rasa berkeluarga bisa dinikmati. Dengan kata lain, kalau orang memilih struktur keluarga di mana suami dan / atau istri bekerja di luar rumah maka proyek pertama untuk dipertimbangkan adalah kesediaan berkorban demi kepentingan misi bersama berdasarkan hukum wilayah yang sudah berlaku.
2.
Standard Kualitas
Dengan tatanan masyarakat yang sudah berubah menjadi global, modern, dan industrialis, rasanya tidak lagi tepat menjadikan ukuran kerukunan keluarga ditentukan oleh faktor yang membedakan antara ibu rumah tangga di rumah dan bekerja di luar kantor atau suami / istri bekerja di luar rumah dalam satu kantor. Tawaran yang memicu kompleksitas hidup bisa muncul di mana saja dan kapan saja baik di rumah atau di kantor sehingga satu-satunya sokoguru yang menentukan kompleksitas itu menganggu dan tidak menganggu kehidupan seseorang adalah bagaimana kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh yang bersangkutan mampu menyelesaikan gangguan yang ada.
Tidak seorang pun yang mampu menghentikan dinamika perubahan tatanan masyarakat. Justru yang dibutuhkan adalah memperkuat pertahanan kualitas di mana masing-masing individu dalam keluarga bertindak selaku pembelajar dan pendidik bagi dirinya dan anak-anak, terlepas apakah keduanya bekerja di luar rumah atau di dalam. Faktor kuantitas fisik dengan perubahan tatanan masyarakat yang sedemikan rupa berubah tidak lagi menjadi faktor kunci.
3.
Keseimbangan
Supaya tetap seimbang dalam arti berada di dalam norma yang dibutuhkan, maka keseimbangan menuntut kontrol-diri secara terus-menerus atau dengan kata lain seperti yang sudah dijelaskan dalam artikel sebelumnya menuntut aplikasi The Science of Cybernetics secara mental. Ibaratnya seperti kulit yang bersentuhan dengan benda panas yang langsung secara reflek bergerak untuk menemukan norma lain. Selain menuntut kontrol-diri, menjaga keseimbangan juga menuntut kesedian atau semangat untuk memperbaiki dan diperbaiki berdasarkan dinamika perkembangan situasi. Di dalam bisnis, orang mudah memperoleh pengetahuan bisnis dari berbagai sumber: sekolah atau dokumen pengalaman orang lain di samping juga jabatan bisnis bisa berganti dan berubah. Tetapi di dalam keluarga, orang hanya diizinkan menjadi ayah / ibu seumur hidup sekali sehingga menjadikan kesediaan memperbaiki dan diperbaiki sebagai faktor penting.
Uraian tentang hukum wilayah di atas hanyalah gambaran sekaligus barangkali dapat dijadikan referensi hidup. Sebagai gambaran, berarti hukum wilayah yang menganjurkan bagaimana seharusnya persoalan diletakkan dan diselesaikan, tidak saja terbatas pada wilayah keluarga dan bisnis. Tetapi hukum wilayah itu berlaku seluas eksplorasi wilayah yang kita jalankan. Selamat menemukan hukum wilayah lain yang bekerja. (jp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar