Mungkin Anda kerap digelayuti pertanyaan, bagaimana sebaiknya untuk ibu hamil atau menyusui, apakah berpuasa atau tidak selama bulan Ramadhan ini?
Untuk menjawabnya berpulang kepada kondisi si ibu itu sendiri. Bila ibu ingin menyusui bayi secara benar dengan memberikan penuh ASI selama enam bulan penuh (ASI eksklusif), tentunya kebutuhan gizi harus terpenuhi secara baik pula.
Bila ibu menyusui melakukan puasa, rasanya sulit untuk memenuhi keseimbangan gizi dan kebutuhan energi yang memang lebih banyak, meski telah makan sebanyak mungkin ketika sahur ataupun saat berbuka puasa.
Namun Dr Purwantyastuti MSc SpFK dari Bagian Farmakologi FKUI punya pendapat beda soal ini. Menurutnya, ibu yang hamil atau menyusui tetap bisa berpuasa sepanjang pada kehamilannya tidak memiliki gangguan. Demikian juga dengan ibu yang sedang menyusui.
"Ibu yang berpuasa memang tidak makan siang, namun ibu tetap makan malam, sehingga asupan makanan sebenarnya tetap sama, hanya berubah waktunya," ujar Dr. Tuti. Hanya yang perlu diperhatikan adalah kualitas makanan yang dikonsumsi, lanjut Dr Tuti, bukan pada jumlah makanan yang diasup ibu.
"Perhatikan komposisi makanan, meliputi kandungan zat gizinya, protein, vitamin dan karbohidrat. Mengacu pada empat sehat lima sempurna," imbuhnya.
Yang tidak boleh dilupakan adalah usahakan minum 8 gelas, saat buka, malam hari dan sahur. Asupan cairan yang cukup diharapkan tidak mengganggu kualitas ASI untuk bayi. Bila perlu, untuk ibu menyusui menambah asupan vitamin C dan E yang didapat dari suplemen jika dari sayur-mayur tidak mencukupi.
"Jangan lupa, untuk menyusui sukses di masa puasa, emosi dan suasana hati ibu juga harus baik. Sebab jika tidak rileks bisa saja ASI yang keluar hanya sedikit, bahkan tidak keluar sama sekali," ujarnya.
Namun jika sehabis menyusu bayi tampak tidak puas atau masih lapar sementara ASI ibu 'kering' sebaiknya ibu tidak berpuasa dulu.
Khusus untuk ibu hamil, lanjut Dr Tuti, disarankan untuk mengonsumsi suplemen tambahan seperti kalsium, besi dan folat.
Bagi ibu yang hamil muda (trimester pertama kehamilan), beberapa dokter menyarankan untuk tidak berpuasa dulu karena dikhawatirkan gizi tidak cukup.
Namun jika calon ibu merasa sehat dan dapat mencukupi kebutuhan gizi bagi diri dan janinnya, berpuasa boleh saja.
"Bayi itu kan ibarat parasit, dia akan menyerap cadangan makanan yang disediakan ibu. Jadi sebenarnya sudah diciptakan mekanisme unik dan istimewa agar si bayi tidak kekurangan gizi. Misalnya untuk pertumbuhan tulang, bayi menyerap kalsium dari ibu. Jika ibu hamil kurang kalsium akan muncul gejala persendian sakit atau gigi keropos," lanjut Dr Tuti.
Lantas, dalam kondisi seperti apa ibu hamil tidak disarankan berpuasa? "Kecuali kehamilan yang tidak normal, atau muntah berlebihan yang membuat ibu dehidrasi dan gizi yang diasupnya tidak mencukupi," ujar Dr Tuti.
Sekarang, bila ditilik dari hukum Islam, bagaimana sebenarnya 'status' ibu yang tidak bgerpuasa karena hamil atau menyusui? Masalah wanita yang sedang hamil atau menyusui memang tidak ada nash yang sharih untuk menetapkan bagaimana mereka harus mengganti puasa wajib. Yang ada hukum yang tegas adalah orang sakit, musafir dan orang tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa.
Orang sakit dan musafir dibolehkan untuk tidak puasa, lalu sebagai konsekuensinya harus mengganti dengan cara berpuasa juga, sebanyak hari yang ditinggalkannya.
Sedangkan orang yang sudah sangat tua dan tidak mampu lagi untuk berpuasa, boleh tidak berpuasa namun tidak mungkin baginya untuk mengqadha (menganti) dengan puasa di hari lain. Maka Allah SWT menetapkan bagi mereka untuk membayar fidyah, yaitu memberi makanan kepada fakir miskin sebagai satu mud.
Bagaimana dengan wanita hamil dan menyusui, apakah mereka mengganti dengan puasa atau dengan bayar fidyah? Atau malah kedua-duanya? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Di dalam kitab Kifayatul Akhyar, disebutkan bahwa masalah wanita hamil dan menyusui dikembalikan kepada motivasi atau niatnya. Kalau tidak puasa karena mengkhawatirkan kesehatan dirinya, maka dianggap dirinya seperti orang sakit. Maka menggantinya dengan cara seperti mengganti orang sakit, yaitu dengan berpuasa di hari lain.
Sebaliknya, kalau mengkhawatirkan bayinya, maka dianggap seperti orang tua yang tidak punya kemampuan, maka cara menggantinya selain dengan puasa, juga dengan cara seperti orangtua, yaitu dengan membayar fidyah. Sehingga membayarnya dua-duanya.
Namun menurut Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, wanita yang hamil atau menyusui cukup membayar fidyah saja tanpa harus berpuasa. Karena keduanya tidak berpuasa bukan karena sakit, melainkan karena keadaan yang membuatnya tidak mampu puasa. Kasusnya lebih dekat dengan orang tua yang tidak mampu puasa.
Dan pendapat kedua shahabat ini mungkin tepat bila untuk menjawab kasus para ibu yang setiap tahun hamil atau menyusui, di mana mereka nyaris tidak bisa berpuasa selama beberapa kali ramadhan, lantaran kalau bukan sedang hamil, maka sedang menyusui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar